Senin, 30 Maret 2015

Nietzsche, Sang pembunuh Tuhan

(c) to the owner

Perpustakaan smp waktu itu. Ruangan yang tak begitu luas dengan koleksi buku yang tidak banyak cukup ramai siang itu. Seorang gadis lugu memegang erat kartu perpus warna biru muda yang tampak lepek, menggenggam erat pada genggaman tangan kirinya menuju pustakawan bertopeng make up. Berjalan dengan kurang percaya diri menuju perpus sempit yang ramai berisi anak-anak seumurannya, ia menulis namanya di buku daftar hadir, lalu menuju rak-rak buku.

Buku-buku itu yang jarang disentuh, dapat ia dilihat dari sampulnya yang masih kaku dan aromanya masih khas buku baru. Ditariknya salah satu dari dalam rak kemudian dibacanya. Buku yang berpuluh-puluh kali telah ia baca, 90 menit bersama Nietzsche.

Gadis kelas dua smp bermata besar itu mendudukan diri, tenggelam dengan benda menarik didepan matanya, tenggelam bersama hobinya, dan tampak malas menghiraukan dunia sekitarnya.

Buku dihapannya kini adalah hal yang baru pertama kali dipelajarinya. Filsafat. Filsafat begitu menarik atensinya untuk semakin menyelam jauh kedasar palung logika. Hal baru yang selama ini tidak pernah dipelajarinya di sekolah manapun padahal merupakan ilmu dasar yang harus diketahui manusia sebagai makhluk yang memiliki akal, pikirnya.

Nietzsche, filsuf kenamaan Jerman itu adalah seorang atheis. Mendeklarasikan bahwa ‘Tuhan Telah Mati’, hingga akhir hidupnya ia meninggal dengan cukup tragis, meninggal dalam keadaan gila karena mengidap sifilis.

Gadis ber-ponytail itu paham betapa berbahayanya buku yang dibacanya sekarang. Begitu menarik dan sangat berbahaya. Betapa aforisme filsuf gila tersebut begitu merendahkan makna Tuhan Yang Mahakekal. Dalam salah satu karyanya berjudul “Orang Gila” ia berbicara dengan gaya bahasa yang indah dan penuh metafora.

“Tidakkah kau dengar orang gila yang menyalakan pelita di pagi hari yang cerah. Dia berlari menuju alun-alun kota dan tak henti-hentinya berteriak : ‘Aku mencari Tuhan ! Aku mencari Tuhan!’ Ketika banyak orang yang tidak percaya kepada Tuhan, datang mengerumuninya, orang gila itu mengundang banyak gelak tawa. ‘Apakah dia tersesat seperti anak kecil ? Apakah ia baru saja mengadakan pelayaran ? Apakah dia seorang perantau ?’ deminikanlah mereka saling bertanya sinis dan tertawa.Orang gila itu melompat dan menyusup ke tengah-tengah kerumunan dan menatap mereka dengan pandangan yang tajam. ‘Mana Tuhan ?’, serunya. ‘Aku hendak berkata kepada kalian. Kita telah membunuh Tuhan—kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita melakukan perbuatan semacam ini ? Bagaimana mungkin kita meminum habis lautan ? Siapakah yang memberikan penghapus kepada kita untuk melenyapkan cakrawala ? Apa yang kita lakukan jikalau kita melepaskan bumi ini dari mataharinya? Lalu kemana bumi ini akan bergerak ? Kemana kita bergerak ? Menjauhi seluruh matahari ? Tidakkah kita jatuh terus menerus ? Ke belakang, ke samping, ke depan, dan kesemua arah ? Masih adakah atas dan bawah ? Tidakkah kita berkeliaran melewati ketiadaan yang tak terbatas ? Tidakkah kita merasa menghirup ruangan yang kosong ? Bukankah hari sudah menjadi semakin dingin ? Tidakkah malam terus menerus semakin menyelimuti kita ? Tidakkah kita mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sudah memakamkan Tuhan ? Tidakkah kita mencium bau busuk Tuhan ? Ya, para Tuhan juga membusuk ! Tuhan telah mati ! Tuhan tetap mati ! Dan kita telah membunuhnya ! Bagaimana kita—pembunuh para pembunuh—merasa terhibur? Dia yang Mahakudus dan Mahakuasa yang dimiliki dunia ini telah mati kehabisan darah karena pisau-pisau kita –siapakah yang hendak menghapus darah ini dari kita ? Dengan air apakah kita bisa membersihkan diri kita ? Perayaan tobat apa, pertunjukan kudus apa yang harus kita adakan ? Bukankah kedahsyatan tindakan ini terlalu dahsyat bagi kita ? Tidakkah kita harus menjadikan diri kita sendiri sebagai Tuhan supaya tindakan itu menjadi bernilai ? Belum pernah ada perbuatan yang lebih besar, dan siapa saja yang lahir setelah kita –demi tindakan ini—akan termasuk kedalam sejarah yang lebih besar daripada seluruh sejarah sampai sekarang ini !’Sampai disini orang gila itu lalu diam dan kembali memandang para pendengarnya ; dan mereka pun diam dan dengan keheranan memelototinya. Akhirnya orang gila membuang pelitanya ke tanah dan pelita itu hancur, kemudian padam. ‘Aku datang terlalu awal’, katanya kemudian. ‘Waktuku belum tiba. Peristiwa yang dahsyat ini masih terus berjalan , masih terus berkeliaran, dan belum sampai pada telinga orang-orang. Kilat dan guntur memerlukan waktu. Cahaya bintang-bintang memerlukan waktu. Tindakan, meskipun sudah dilakukan, masih memerlukan waktu untuk dapat dlihat dan didengar. Tindakan ini masih lebih jauh dari mereka daripada bintang-bintang yang paling jauh—namun mereka sudah melakukannya untuk diri mereka sendiri..”


“Aku bisa jadi gila”, ucap gadis yang memiliki luka bakar kecil di tulang lipat jempol tangan kanannya seraya menjatuhkan kepalanya diatas meja baca lalu tersenyum dengan senyuman yang nyaris tak terlihat seraya memejamkan mata. Lama ia melakukan itu, rasanya jadi ingin tidur saja. Sayup-sayup terdengar suara televisi yang menyala, rupanya sang pusatakawan bertopeng itu tengah menonton program music inbox yang saat itu tengah digandrungi banyak orang dari berbagai usia, sayup-sayup terdengar suara Asti Ananta yang tengah memandu jalannya acara diikuti suara bel tanda jam istirahat telah usai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar